Judul :
LUKA TAK SELAMANYA DUKA
Nama Penulis :
Romdiyah, M.Pd
Instasi :
MI. ASH-SHIDDIQIN
Ada satu titik yang
mungkin terlihat terang, namun dititik itu ternyata ada sebuah harapan yang tak
pernah terduga. Setiap orang pasti punya peristiwa, setiap masa pasti punya
pengalaman, baik buruk hidup itu kenyataan, ada susah, ada duka itulah hiasan.
Perjuangan yang tak
pernah henti, tak kenal lelah, tak kenal letih, terus berjuang tanpa henti
hanya memohon ridho Ilahi. Seorang lelaki yang tak begitu gemuk tubuhnya, namun
kuatnya tekadnya yang menjadikan aku hingga sampai saat ini mampu menopang
dunia.
Begitu banyak sejarah
yang kita lewati bersama, begitu banyak pelajaran yang telah kita alami
bersama. Semakin membuatku sadar bahwa hidup ini adalah permulaan menuju
kebahagiaan. Sosok itu adalah seorang ayah, dialah yang menjadi panorama hidup
hingga aku mampu berdiri sampai saat ini dan beristiqomah tetap selalu di
jalan-Nya.
Kami bersama-sama tak
pernah merasa malu menjadi seorang pendidik meski kami telah kehilangan sekolah
karena hancur oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, tetapi kami
tetap bertahan mendidik, mengajarkan siswa-siswi kami di kediaman rumah kami.
Hidup kami akhir-akhir ini penuh dengan ejekan, gunjingan, dari orang-orang
terdekat, mereka tidak tergugah membantu namun hanya merendahkan kami.
Seperti biasanya setiap
pagi kami mendidik dan mengajar di kediaman rumah kami, jumlah siswa semakin
habis karena kondisi fasilitas yang sudah tidak memenuhi standar Pendidikan.
Saat itu kami mengajar
dengan sisa jumlah guru 3 orang, aku, kakakku dan teman kakakku. Kami mengajar
dengan masing-masing memegang dua kelas. Saat itu sisa murid kami itu setiap
kelasnya ada yang berkisar 3 – 10 siswa rata-rata dari setiap rombongan
belajar.
Kami mengajar di rumah
kediaman orang tua kami, saat itu guru-guru yang lain sudah berhenti karena
sekolah kami hancur. Dengan tekad kami memulai Langkah terus tanpa gentar tetap
istiqomah karena Allah pasti akan menolong hamba-Nya yang sabar.
Kakakku yang sudah
terbiasa mengajar di kelas rendah sejak tahun 1998 dia mengajar dengan penuh
kesabaran, walau terkadang kami malu saat mengikuti rapat Kelompok Kerja
Madrasah Ibtidaiyah (KKMI) karena kami saat itu sudah tidak memiliki fasilitas
sekolah untuk kegiatan belajar mengajar. Kami tiga bersaudara Perempuan yang
saat itu duduk di bangku kuliah, disuatu universitas Pendidikan Agama Islam
Jakarta. Dengan penuh harap kami berusaha akan Bersama-sama membangun sekolah
kami yang hancur. Saat itu sekitar 18 tahun silam kami mengajar tidak pernah
memikirkan berapa honor yang kami terima dan bahkan kami tidak mendapat hak
pembayaran karena sekolah kami gratis tidak memungut biaya apapun. Atas
kekuatan dan do’a walaupun kehidupan kami tidak seberuntung orang lain, tetap
dalam hati usaha tidak membohongi hasil, karena kita masih punya sang Khaliq
yang maha memberikan kecukupan atas segala kebuhan.
Aktivitas pagi tetap
dengan semangat senyuman dan doa terindah seperti biasa kami membagi tugas
dengan teman satu perjuangan mengajar dengan pembelajaran kelas rangkap karena
saat itu hanya kami berempat yang mengajar di sekolah kami dengan kegiatan pembelajaran
di rumah ayahanda kami.
Tanpa malu-malu karena
kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertahan hidup dengan penghasilan yang
tidak menentu, saat istirahat tiba akupun mulai beraksi, mengekplor kemampuan
yang dimiliki bukan hanya sekedar mengajar, mengurus anak, namun juga harus menjadi
seorang pedagang mie Sakura serta gorengan cemilan frozen saat istirahat siswa
di sekolah kami dan sepulang sekolah. Aku berdagang di depan halam oran tuaku
demi untuk menambah penghasilan kehidupan keluarga keciku walaupun hanya 15.000
yang kuperoleh dari hasil keuntungan dagang tetap aku harus bersyukur karena
dengan rezeki itu aku bisa membelikan jajanan untuk anak-anakku yang masih
kecil.
Saat ini hanya kata
Syukur yang terucap dalam hati, hingga denga napa yang diperoleh kami tetap
bertahan hidup walau kami belum mampu memcukupi kebutuhan makan, tetapi masih
ada orang tuaku yang selalu mengasihi kami, setiap hari kami hidup dan tinggal
Bersama, aku, suamiku dan kedua anakku yang selalu mendapat makan dari orang
tuaku dsebabkan keadaan ekonomi kami benar-benar tidak stabil dan sangat
kekurangan.
Perjuangan tak hanya
berhenti disini dengan kemampuan kami mengajar kami terus dapat meluluskan
siswa-siswi kami dan bahkan ada yang sudah menjadi polisi, S1 programmer,
perawat dan sebagainya. Tidak ada rasa mundur dalam hati kami disaat kami tak
mampu berkata hanya doa yang mampu menembus segala duka yang kami hadapi
Bersama.
Beberapa tahun kemudian
kami sudah dapat membangun sekolah kami dua local Tingkat, dengan kondisi
lantai satu urugan tanah dan halaman teras urugan puing. Untuk menuju ke lantai
dua kami harus manaiki tangga yang terbuat dari kayu kaso sambung-sambungan dan
sangat lumayan sulit bagi kami menanjak dengan Langkah terburu-buru.
Keesokan harinya
seperti biasa saya dan kakak saya nomor dua mengajar Bersama dalam satu ruang
yang masing-masing ruang belum terskat dengan dinding. Seperti biasa kami
mengajar dengan membawa anak kami yang saat itu berusia sekitar 3 tahun dan
bermain Bersama di dalam kelas. Aku dan kakakku sedang menikmati proses belajar
mengajar di dalam kelas tiba-tiba terdengar suara seperti benda yang terjatuh
sangat kencang sekali ….. buuuuuuuk dilanjut suara jeritan orang disekitar
sekolah yang sangat histeris.
Tergesa-gesa kami
menuju arah suara, namun apa yang terjadi anak Perempuan kakaku yang berusia 3
tahun itu terjaduh di lantai dasar dengan posisi sudah tak sadarkan diri dan
kepala gembur.
Ya Allah …. Hanya suara
isak tangis yang bisa kami lakukan, saat itu kakakku pingsan dan anaknya segera
dilarikan ke salah satu rumah sakit terbesar kelas A yang ada di daerah kami.
Terenyuh hati, bimbang,
gelisah, penuh sesal, ya Allah … haruskah kami melangkah dengan segala
kekurangan ini, haruskah kami tetap berjuang dengan segala kesusahan yang
selama ini kami hadapi beberapa tahun ini. Satu kata mulai muncul …. Ya Allah
aku takut, saat ini aku mulai lemah dengan melihat apa yang terjadi, karena
kami mengajar sama-sama membawa anak kami yang usia hamper sebaya beda 6 bulan.
Anak adalah anugerahMu
ya Rob, mereka tak salah mengapa mereka harus mendapat sesuatu yang menyakitkan
tubuhnya, kami yang salah tak sepantasnya kami berjuang terlalu berlebih,
mulailah bisikan ini muncul yang menggoyahkan hati kami. Jika ini merupakan
ujian kami pasrah, jika ini merupakan peringatan kami mohon ampun atas semua
kelalaian yang terjadi.
Genap 15 hari di rawat
dengan diberikan obat otak akhirnya kondisi anak kakakku mulai membaik, tetap
bersyukur dan beristiqomah dengan sesuatu takdir yang diterima, mungkinkah kami
harus gentar menghadapi semua ini. Ada sosok ayah yang merupakan tokoh agama
dalam lingkungan Masyarakat menguatkan tekad kami yang sudah mulai goyah,
seandainya akar kami ini sudah kering, daun kami sudah kering mungkin kami akan
mulai mundur dan memilih diam seperti tak melihat keadaan kondisi sekolah kami
yang sangatlah miris sekali. Segala yang dirasakan semoga tak terulang kembali.
Mulai melangkah Kembali
ke depan menata segala yang kurang dengan penuh harap semua ini akan menjadi
lebih baik. Atas kehendak takdir Allah siswa kami mulai bertambah, kegigihan
kami berkeliling menyakinkan Masyarakat sekitar untuk menyekolahkan anaknya di
lembaga Pendidikan kami berbuih hasil. Kerjasama yang sangat luar biasa yang
menghantarkan kami tetap berada di jalanMu ya Allah.
Ternyata, belum tuntas
sampai disini dunia berputar sesuai dengan garis edarnya, langit tetap biru
sesuai dengan hakikatnya, matahari bersinar terang sesuai dengan kodratnya.
Pagi itu saat jam Pelajaran sudah dimulai dan anakku sedang beristirahat tidur dipanggillah
aku dengan suara yang mengejutkan, akupun berlari menuju suara itu, namun apa
yang terjadi anakku yang aku sayangi dan cintai nafasnya begitu cepat perutnya
menraik nafas dalam-dalam, dengan derai air mata aku gendong, aku peluk erat
tubuhnya dan membawanya ke rumah sakit.
Saat itu kondisiku yang
tidak memiliki jaminan Kesehatan dan BPJS yang membuat anakku tak disentuh
sedikitpun oleh dokter, dengan penuh harap dan tangis aku dan kakaku meminta
bantuan dokter, tanpa uang semua akan sia-sia saat itu, tak sedikitpun yang dapat
kami lakukan karena tidak mampu membayar biaya rawat inap anakku saat itu
sebesar 500.000,-.
Mirisnya nasib seorang
guru dengan penghasilan hanya 150.000 perbulan yang belum tentu dibayarkan
rutin setiap bulannya. Dahulu rumah sakit itu milik orang berduit, dahulu itu
rawat inap saja kami tidak mampu, dengan nada tinggi dan digebraklah meja salah
satu doctor oleh kakakku. “ Hai lihat posisi kepokan saya yang sudah sangat
tersiksa, dengan nafasnya yang sesak apakah kalian tega melihat keadaan ini”
ucap kakakku. Akhirnya atas pertolongan dari Allah, anakku segara ditangani
dokter walau tanpa ada biaya pendaftaran yang kami bayarkan.
Hari berikutnya
secercah harapan dan pertolongan datang untuk meminjamkan biaya perawatan
terhadap anakku sebesar 3.000.000. Allah tidak pernah membiarkan hambanya
seorang diri, Allah maha baik, dan kamipu selalu bersyukur atas segala musibah
yang menimpa kami semua.
Sebagai seorang
pendidik modal utama merupakan keikhlasan jika dihitung dalam logika matematika
dan dikalkulasikan dengan bilangan suatu jumlah hal yang sangat mustahil mampu
bertahan hidup dengan penghasilan Rp. 150.000,- namun itu semua keberkahan yang
menjadikan semua guru-guru layak dan hidup bahagia. Tahun berjalan dan berganti
setelah setelah kurang lebih enam tahun perjuangan itu berlalu semakin ke depan
semakin lebih baik.